28 Februari, 2009

Dengan Sebuah Puisi

Dengan puisi aku bernyanyi sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis jarum waktu bila kejar mengiri

Dengan puisi aku memutih nafas jalan yang busuk
Dengan puisi aku berdoa perkenankanlah kiranya

Aduuh hari gini kok masih sempet-sempetnya ngomongin cinta?
Tapi cinta khan nggak kenal perang, nggak kenal panas, nggak kenal hujan,
nggak kenal badai, apalagi cuma badai reformasi!

Puisi cinta di sini banyak sekali bentuknya, cinta kepada Allah, cinta kepada orangtua,
cinta kepada adik-kakak, cinta kepada kekasih, cinta kepada negeri,
pokoknya segala macem cinta yang pernah kita rasain deh... !!

27 Februari, 2009

Selembar Bulu Mata Elena

Suasana senja yang basah memberikan aroma tersendiri pada sebuah café. Elena menghirup aroma kopinya, sedang aku sibuk memperhatikan bulu matanya yang menari-nari bila ia mengedipkan kelopak matanya. Ia mengangkat cangkir putih yang masih mengepul itu jauh-jauh dari hidung dan bibirnya ketika tiba-tiba aku melihat sesuatu menempel di bibir merahnya.

“Ada sesuatu di bibirmu.” Elena menaruh cangkir kopinya di pinggir piring brownies kenari kesukaannya lalu mengambil tisu. “Jangan! Maaf, biar aku saja.” Aku menawarkan diri. Ia membiarkan aku mengambil selembar bulu matanya yang terjatuh di bibir merahnya. “Astaga, bulu mata?” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya hingga rambutnya yang secuping bergoyang-goyang. Namun kembali dihirupnya aroma kopi robustanya seakan ia hanya pura-pura terkejut saja barusan. Aku mempelintir selembar bulu mata itu dengan ibu jari dan jari telunjukku. Kuperhatikan selembar bulu matanya yang menawan itu. Panjang, hitam, dan tebal. Bentuknya seperti lengkungan bulan sabit di pertengahan bulan.

“Kira-kira bulu mata yang mana, ya?” Elena membuang tatapan matanya keluar jendela. Kedua kelopak mata itu tak berkedip menatap kaca jendela yang telah basah oleh rintikan hujan yang kian deras. Sebuah suasana kota yang becek dan macet di luar sana mewarnai sore yang basah. Dari dalam café ini, kota itu tampak beruap.

Aku terus memperhatikan bulu-bulu mata Elena. Matanya masih menatap keluar jendela di sampingnya. Namun kutemukan ada sebuah negeri yang disembunyikan oleh pemilik bulu mata itu. Aku tahu ia memikirkan hal yang lain.

Tapi tiba-tiba kedua kelopak mata itu berkedip sekali. Membuatku sadar untuk segera mengalihkan pandanganku ke lain tempat, pada cangkir putih kopinya yang kini telah ternoda. Lipstik.

“Iya, ya. Yang kanan atau yang kiri?” Kataku akhirnya balik bertanya sambil mengeluarkan buku pocket berwarna hijau dari saku celanaku.

“Katanya kalau bulu mata kanan yang jatuh berarti ada yang cinta atau kangen,” ia tersenyum lalu bertopang dagu memperhatikanku. Aku jadi sedikit salah tingkah. “Nah, kalau yang kiri….” Ia tidak melanjutkan tapi mengambil sebatang rokok dan mengamitnya di bibir. Aku mematikkan api untuknya.

“Kalau yang kiri?” tanyaku menyambung. Ia menggeleng-geleng lalu melepaskan kepulan asap rokok ke udara. Aku lihat asap itu seperti membangun suatu pondasi. “Ya, sebaliknya.” Jawabnya singkat.

“Itu kan hanya mitos.”

“Lho, tidak percaya? Dunia ini kan sudah rancu. Kita perlu keyakinan baru selain kenyataan. Kita perlu jadi seperti kodok di got sana. Nyanyi-nyanyi saat hujan, nyaplok nyamuk di waktu malam, bermetamorfosis. Ya, hidup di dua alam. Percaya pada yang nampak juga pada penampakan.” Elena menghisap lagi rokoknya dalam-dalam. Sementara aku berusaha bangkit dari keterpukauanku pada negeri bulu matanya.

“Kenapa mesti kodok?”

“Karena kodok hidup di dua alam. Begitu pun dengan kita, seharusnya hidup di dua alam; ya malam, ya siang. Yang nyata maupun yang tidak. Paling tidak kita harus bisa menyeimbangkan.” Aku mengernyitkan kening. Biar bagaimana pun jawaban Elena, ucapannya selalu memesona.

“Ah, tapi aku keberatan kalau harus menjadi kodok.”

“Ya, terserah.” Ia angkat bahu.

“Sudah seharusnya kita kembali pada mitos. Ah, bagaimana Tuhan ini. Menciptakan manusia dengan rasio, sedang Dia sendiri irasional.” Kami bertatapan mengulum senyum. Dan sambil menikmati tatapan serta senyumnya itu kubuka buku pocket hijauku dan di halaman yang bertuliskan “Elena di Hari Hujan”, kutaruh selembar bulu matanya itu sebagai pembatas buku.

“Ah Elena, sudahlah! Kita tidak tahu itu kiri atau kanan. Bukankah itu hanyalah selembar bulu mata yang tepat jatuh di bibir merahmu?” aku menepis asap rokok yang dihembuskannya di hadapanku, ia tersenyum. Dan dari bibir merah itu keluar ucapan, “Itu tugasmulah!” Ia kembali menatap keluar jendela.

Gumpalan asap rokoknya menghambur lagi di hadapanku. Asap itu menggumpal tebal seperti awan hingga mengingatkanku pada cerita tentang negeri di awan. Maka dengan segera kubangun sebuah negeri dari kepulan asap itu sebelum ia menguap tanpa jejak. Sebuah negeri tentang selembar bulu mata Elena.

***

Buku hijau. Sebenarnya telah banyak buku catatan harian yang telah katam kutulis dengan berbagai jadwal, curahan hati, atau sekadar uneg-uneg. Dan setiap buku selalu memiliki pembatas buku.

Pertama kali aku mengenal pembatas buku adalah ketika aku menginjak masa puber. Aku selalu percaya rautan pensil berwarna yang disimpan beraneka warna sebagai pembatas buku akan menjadi pelangi saat hujan selesai. Dan ternyata itu benar terjadi. Lalu ketika aku memiliki buku catatan berikutnya, aku menaruh bulu ayam sebagai pembatas buku. Setiap hari bulu ayam itu akan bertambah dengan sendirinya namun dengan warna yang berbeda. Dan suatu malam ketika buku catatanku telah penuh, aku melihat kupu-kupu keluar dari buku catatanku dan berterbangan di kamarku. Kamarku jadi penuh oleh kupu-kupu. Indah, berjuta warnanya. Kupu-kupu malam.

Pernah pula aku menjadikan potongan-potongan kuku jariku sebagai pembatas buku catatanku. Dan aku selalu tahu bintang di langit akan bertambah satu setiap ada lima buah potongan kuku di halaman catatanku. Lalu kini apa gerangan yang akan hadir bila aku menjadikan selembar bulu mata Elena sebagai pembatas buku catatanku?

***

Waktu itu musim nyekar. Hingga banyak kembang berhamburan dan aroma wangi bunga memenuhi paru-paru. Perempuan bergaun hitam dan berkerudung hitam itu mengangkat kepalanya dari gundukan tanah yang masih merah. Di belakangnya berdiri pohon kamboja memadu putih. Tangannya memegang setangkai mawar merah yang mulai layu. Tak ada siapa-siapa di sisinya, hanya sebuah batu nisan putih mengukirkan nama sang terkasih. Wajahnya pucat, mungkin tak dibubuhi bedak. Mungkin juga telah luntur oleh keringat dan air mata. Namun bibirnya masih semerah buah apel. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba ia menatapku. Matanya yang berhias smoky eyes itu seperti menghipnotisku karena sungguh aku tak bisa beranjak dari makam tempat ayahku terlelap. Yah, dan ketika kelopak mata itu berkedip, maskara hitam itu luntur oleh air matanya. Lalu ia roboh seketika.

Ketika ia siuman berkatalah ia padaku, “Oh, kamu orang itu? Yang di situ? Yang menolong aku? Terima kasih.”

“Ya, sama-sama. Siapa yang meninggal?”

“Suamiku. Hanya suamiku yang kucintai, selebihnya aku hanya ingin dicintai.” Ia memejamkan mata. Bulu mata lentik itu basah.

“Ya. Siapa namamu? Biar kuantar pulang.”

Sejak itu aku mengenal seorang perempuan bernama Elena.

***

Sore ini senja basah lagi. Warnanya jadi pudar dan buram, tapi Café tetap tampak ramai dan hangat. Canda, tawa, kepulan asap rokok, musik, kopi mewarnai ruangan. Aku menulis kata ‘kiri’ di halaman kanan buku catatan hijauku. Ah, aku selalu ingat kata-kata Elena. Bukankah sudah menjadi tugasku mencari tahu kanan atau kirikah bulu matanya yang aku dapatkan di bibir merahnya kemarin? Dan aku tidak heran, hari ini aku mendapatkan selembar bulu matanya lagi. Yah, selembar bulu mata Elena menjadi dua.

Tiba-tiba kulihat dari arah pintu masuk sesosok perempuan bertubuh langsing dengan pakaian yang menarik datang menghampiriku. Aku tersenyum menyambutnya dan mempersilahkannya duduk.

“Lama menunggu?” tanyanya, aku menggeleng. Elena tampak segar. Ia selalu tampak lebih cantik di sore hari. Ia segera memanggil waitress dan memesan secangkir kopi jenis robusta dan brownies kenari kesukaannya.

“Bagaimana kabarmu?” sapaku.

“Baik. Tapi aku mungkin sedikit lelah karena terlalu giat bekerja.” Kuperhatikan wajahnya yang berseri itu. Di manakah letak kelelahan itu?

“Lelah?Memangnya kamu kerja apa sih?” tanyaku sedikit berani tapi sebenarnya aku tak berniat apa-apa.

“Ah, sudahlah! Tidak penting. Pekerjaanku sama saja seperti dulu.” Lagi-lagi ia tersenyum, ia selalu tersenyum menggoda. Aku angkat bahu. Beberapa saat kemudian setelah kami bercakap mengenai hujan dan senja, pesanannya datang. Akhirnya kami pun mulai melesapi rasa di lidah. Rasanya aneh memang, mengecap rasa manis di depan seorang perempuan sepertinya bagai mendapatkan rasa manis yang tidak dijual di mana pun.

Sambil menghirup, mengecap, dan mereguk, kuperhatikan kelopak mata itu dan sesekali pula menanggapi ucapannya. Ia mengatakan kalau ia baru ke salon untuk mengkriting bulu matanya. Di salon Anu sedang ada potongan harga katanya. Ia juga mengatakan kalau ia tidak suka menggunakan bulu mata palsu. Menurutnya itu norak dan akan membuat matanya iritasi. Berbicara tentang mata, mengingatkan aku pada sosok Elena saat pertama kali aku mengenalnya. Ya, dalam bingkai bulu mata itu, tiba-tiba aku melihat sebuah nisan putih terpantul pada bola matanya.

“Elena, boleh aku tanya sesuatu?” ia tidak menyahut, tapi ekspresinya membolehkan aku untuk bertanya apa saja.

“Dari suamimu dulu kamu punya anak?”

“Tidak, aku mandul.”

“Apa?”

“Aku mandul.” Ia mengulangi.

“Oh, maaf.” Ia hanya menggeleng. Apakah ia bercanda?

“Oleh sebab aku mandul, aku hanya mencintai suamiku. Yang lain tidak.”

“Apa?”

“Ya, yang lain tidak. Tidak ada yang mencintaiku seperti almarhum suamiku. Dia mengambilku dari comberan, dari got-got di luar sana saat hujan pada malam yang dingin. Dan dia mencintaiku sepenuh hati lebih dari sekadar membutuhkan rahimku. Dia memberiku arti apa itu hangat dan menjadi baik.”

“O…, tap….”

“Aku senang menjadi temanmu, Jo. Aku janji tak akan mempermainkanmu, meski aku hanya ingin dicintai.” Ia tersenyum dan menatap ke kaca jendela. Sekali lagi aku memperhatikan kelopak mata yang sesekali berkedip itu. Bulu matanya lentik membingkai matanya yang berkaca-kaca.

“Elena, boleh aku mengatakan sesuatu?”

“Boleh.”

“Aku suka bulu matamu.”

***

Setiap hari. Setelah aku menemuinya saat itu dan menuliskan kata ‘kiri’ pada halaman kanan buku catatanku. Setelah aku menuliskan tema besar hari itu “Bulu Mata Elena,” bulu mata Elena di catatan harianku selalu bertambah satu setiap harinya. Aku semakin gandrung. Setiap halaman kiri buku itu selalu bertuliskan kanan, begitu pula sebaliknya. Aku ingin cepat-cepat tahu selembar bulu matanya yang dulu jatuh di bibir merahnya itu yang kanan atau yang kiri. Bukankah aku penggemar sejati yang butuh kepastian untuk menjadi suami pengganti?

Anehnya, hampir setiap malam aku selalu menemui sosok-sosok Elena di berbagai tempat. Di restoran Itali, di hotel berbintang, di tempat parkiran, di dalam lif apatemenku, bahkan di taman. Namun ia tidak pernah menegurku. Elena bermetamorfosis. Yah, bermetamorfosis di waktu malam. Suatu saat ia menjadi berudu, kemudian menjadi kecebong yang bermain-main di dalam air. Lalu tiba-tiba di suatu malam pekat ketika hujan mengguyur, aku mendengar suara kodok nyanyi-nyanyi di sebelah kamar apartemenku. Aku tidak yakin itu Elena, sebab rasanya janggal, di kamar yang steril dan nyaman, ada nyamuk yang bebas berkeliaran.

***

Sore ini ketika kami berjanji lagi bertemu di café yang sama. Duduk, menikmati secangkir kopi, dan mengobrol, Elena hadir lagi dengan wajah segar. Dan matanya berhias smoky eyes seperti dipemakaman waktu itu. Matanya jadi terkesan begitu hitam dan tajam. Namun ada sesuatu yang dalam di sana.

“Akhir-akhir ini mataku gatal.” Katanya. Ia menyelipkan rambutnya yang bergoyang-goyang ke kupingnya agar tidak mengganggu.

“Coba kulihat!” aku menawarkan diri. Ia menyodorkan tubuhnya kehadapanku hingga aku dapat melihat jelas ke kejernihan matanya. Ia berkedip-kedip.

“Apa yang kamu lihat?”

“Bukan apa-apa. Bulu matamu terlalu panjang dan lebat.”

“Oh ya? Jadi mungkin harus aku pangkas sedikit ujungnya biar tidak membuat mataku gatal-gatal.”

“Lho, aku tidak tahu. Rasanya akibat gatal-gatal bukan karena bulu matamu.”

“Ya. Mungkin aku salah pakai maskara. Mungkin seharusnya aku ke salon saja untuk ikut paket bulu.” Kami tertawa. Hari ini ia tampak begitu riang dan senang bergurau.

Maka ketika malam merayap dan kami berpisah, aku segera masuk ke kamar apartemenku dan menuliskan beberapa kata di halaman kanan buku catatanku. “Kiri. Aku jatuh cinta pada bulu matamu.”

***

Begitulah setiap saat. Bulu mata Elena semakin bertambah setiap hari. Dan aku semakin bahagia serta penasaran. Buku catatan hijauku sudah hampir penuh walau hanya berisi tulisan kanan dan kiri juga kalimat-kalimat pendek. Namun Elena semakin sulit saja ditemui. Mungkin ia terlampau sibuk dengan pekerjaannya, aku tak cukup berani menghubunginya. Pernah suatu siang aku meneleponnya, tetapi jawaban diseberang sungguh mengecewakan: ‘mohon tinggalkan pesan, nyonya sedang istirahat.’ Elena masih tidur.

Dan semua kisah itu? Benarkah itu Elena? Sesosok Elena yang kutemui di birunya malam. Bermetamorfosis. Apakah Elena serupa apa yang ia katakan? Kodok.

Tapi aku selalu menepis prasangkaku. Aku tahu perempuan itu hanya ingin dicintai.

***

“Kamu baik, Jo.” Elena menghembuskan asap rokoknya. Ia menyilangkan kaki. Tubuhnya yang langsing dibaluti rok span dan jaket hitam.

“Apa kamu suka memuji?” lanjutnya. Ia mendelik menatap penuh selidik, tapi bibir merahnya menyala, tersenyum menggoda.

“Ah tidak. Memang kamu cantik dengan potongan rambut seperti itu.” Ia tertawa. Ditaruhnya rokoknya di asbak dan ia duduk dengan tegap sambil menata rambutnya. “Seperti ini?” ia tersenyum dan ia benar-benar menawan. Aku hanya mengangguk-angguk.

“Tadinya rambutku panjang, lho. Dan memang aku identik dengan rambut panjang.”

“Lalu kenapa dipotong?”

“Biasa. Aku ada masalah dengan rambut.”

“Rontok?” ia menggeleng.

“Bukan. Bukannya aku tidak pernah pergi ke salon, shampo seperti tak ada yang cocok. Tapi kamu pasti tertawa kalau aku beri tahu.”

“Oh ya? Apa itu?”

“Ketombe.” Katanya setengah berbisik. Lalu kami tertawa. Ngobrol. Ngobrol. Ngobrol. Sore selalu tampak lebih indah bila mengobrol dengan Elena.

“Oh ya Elena. Matamu masih gatal?”

“Mm….” Ia hanya menjawab dengan gumaman.

“Hanya sedikit.” Katanya kemudian. Aku memperhatikan kelopak matanya.

“Boleh tanya satu hal?” tanyaku. Ia mengangguk.

“Apakah kulit bulu mata bisa ketombean?”

“Apa?”

“Maaf, maksudku ada sesuatu di bulu matamu?”

“Yang mana? Kanan atau kiri?”

“Dua-duanya.”

“Astaga….” Dia mengambil tisu di samping cangkir kopinya.

“Jangan, biar aku saja!” Aku mengambil beberapa serbuk putih yang melekat di bulu matanya dan memperlihatkan padanya. Dia menghisap lagi rokoknya seraya tidak peduli. “Aku sudah konsultasi ke salon. Maskara yang lama aku ganti dengan maskara bening. Ah, mungkin maskara murahan hingga bila sudah kering dia malah memutih seperti ketombe.” Aku melipat tanganku dan bersandar di kursi. Memperhatikannya.

“Kau tahu Elena, ketombe dapat menyebabkan rontok.” Kataku menggoda sambil menahan senyumku.

“Ah, kamu mengejekku.” Ia tersipu. Segera setelah itu ia berpaling ke kaca jendela. Merokok, menghembuskan asap rokoknya. Sebuah negeri tentang bulu matanya mengepul ke atas lalu lenyap tanpa bekas.

***

Semakin hari aku semakin gelisah, semakin penasaran, semakin bahagia. Dan tentu saja aku semakin jarang bertemu dengan Elena. Kiri kanan, kanan kiri, bulu matanya yang indah itu semakin bertambah. Akan jadi apakah pembatas bukuku itu kelak? Hatiku terus saja bertanya-tanya. Jawaban apa yang akan aku dapat? Tidak mesti harus sampai halaman akhir. Yang penting adalah jawaban. Tapi tugasku adalah: yang kanan atau yang kiri. Kanan artinya cinta, sedang kiri sebaliknya.

Rasanya aku tidak peduli lagi. Aku harus mengatakan kegelisahanku ini pada Elena. Kulipat koran sore itu. Sebenarnya aku pun tidak membacanya karena pikiranku selalu melayang pada perempuan yang memiliki bulu mata di catatanku itu.

Aku tersenyum ke arah datangnya Elena.

“Sore ini hujan lagi.” Katanya lalu duduk di hadapanku. “Memang sudah musimnya.” Sahutku.

“Ya, semuanya jadi basah dan dingin.” Ia tampak kesal karena baju merahnya basah terkena hujan. Waitress mengantarkan kopi dan cemilan favoritnya.

“Jadi semua orang butuh kehangatan, kan?” Aku menggoda. Ia melirikku datar.

“Akan banyak kodok di luar sana.” Aku tertawa mendengar jawabannya. Ia menghirup aroma kopinya. Aku selalu suka karakter bicaranya.

“Kamu suka kopi jenis robusta?”

“Ya, jenis ini baik untuk kita yang suka bekerja keras. Kadar kafeinnya tinggi, cocok untukku. Kamu?”

“Teh dengan sedikit creamer sudah membawa suasana nikmat. Kopi dan rokok, kamu selalu tampak segar dengan itu.”

“Ya, orang yang kerja malam memang butuh tenaga ekstra.”

“Memangnya apa kerjamu?”

“Ah, kamu tanya itu terus. Nanti juga kamu akan tahu.” Ia memandang ke kaca jendela yang berembun. Aku memperhatikan kelopak matanya. Kali ini kelopak itu tak berkedip sama sekali. Tiba-tiba aku melihat selembar bulu mata Elena terlepas dari kelopaknya.

“Elena, lihat aku sebentar!” ia memalingkan wajahnya ke arahku.

“Bulu matamu jatuh.” Aku mengambil sehelai bulu mata kanannya yang jatuh.

“Yang kanan.” Kataku. Ia tersenyum bahagia.

“Ada yang mencintaiku, Jo.” Katanya setengah berbisik. Namun bulu mata kanan Elena terus berjatuhan. Aku tercengang. Begitu banyakkah yang mencintai Elena?

“Elena, bulu matamu rontok!” kataku pelan karena terkejut.

“Astaga! Aku sudah mengkritingnya di salon, mengganti maskara, merawatnya…. Tapi kenapa….”

“Biar aku….”

“Ah, jangan!” Katanya sedikit terpekik menepis tanganku sambil memegangi mata kanannya.

“Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi, Jo.” Ia mengambil tasnya seraya hendak bergegas.

“Lho kenapa? Tunggu, kamu mau ke mana? Di luar hujan Elena.” Tapi Elena bangkit. Ia menutupi wajahnya. Walau begitu dapat kutangkap pancaran matanya bahwa ia hendak menangis.

“Elena aku tidak keberatan kalau….”

“Cukup! Bilang saja kamu ingin tidur denganku, kan? Aku benci! Kamu telah mengkhianati aku, Jo.” Teriaknya. Spontan saja semua orang yang ada di ruangan ini memandang kami.

“A…apa? tidur?….” Tapi Elena telah menghilang di balik hujan. Tak ada yang tersisa kecuali noda lipstik di cangkir kopinya dan serpihan-serpihan bulu matanya.

***

Berminggu-minggu aku mencari perempuan pemilik selembar bulu mata itu. Tapi tak kutemukan. Sedang semakin maju hari, hujan semakin menjadi. Apalagi perasaan penasaran dan gelisah ini. Elena tak bisa dihubungi, teleponnya tulalit, handphonenya tidak aktif. Dan setiap sore aku selalu ke café, menyediakan waktu duduk dan membaca koran sambil menunggu barang kali Elena mampir. Tapi rasanya sia-sia saja. Sudah begitu aku seperti sah mendapat predikat baru: orang dungu yang menunggu. Hingga akhirnya kala sore yang basah tak ketulungan itu, tiba-tiba orang-orang di dalam café menatap penasaran ke kaca jendela. Mata mereka menerawang menembusi kaca dan gerik mereka mengisyaratkan rasa penasaran. Aku jadi ikutan penasaran. Kututup koran sore itu dan bertanya pada seorang lelaki yang lewat di depanku.

“Di luar ada apa ya, Pak?”

“Ada perempuan gila telanjang hujan-hujanan. Setiap orang lewat ditanya.”

“Ditanya? Memangnya dia mencari sesuatu?”

“Namanya juga gila, nyari kok bulu mata.” Tanpa banyak pikir lagi aku langsung melesat keluar. Dan aku tidak peduli kalau aku harus basah-basahan. Bukankah Elena membutuhkan bulu mata?

Perempuan itu mendekatiku. Ia telanjang di tengah hujan. Aku dapat melihat dadanya yang sebesar tomat. Aku pun dapat melihat kelaminnya mengeluarkan nanah. Matanya cekung dan hitam di sekelilingnya, seperti hiasan smoky eyes walau kutahu ia tidak sedang berhias. Mata itu menatapku kosong, tak berkedip, dan tak kutemukan selembar bulu mata pun di kedua kelopaknya.

“Jo, aku tak bisa tidur. Aku kehilangan bulu mataku. Bukankah kamu masih menyimpan selembar bulu mataku waktu itu?” aku hanya mengangguk tak tega. Elena tampak berubah, ia begitu pucat dan mengkhawatirkan.

“Kamu butuh bulu mata yang mana, yang kanan atau yang kiri?” tanyaku bingung karena merasa asing berhadapan dengan Elena yang tidak berbulu mata. Aku meronggoh kantung celanaku mengeluarkan buku pocket hijauku.

“Dua-duanya.”

“Tapi aku tidak tahu ini kanan atau kiri. Bukankah ini hanyalah selembar bulu mata yang tepat jatuh di bibir merahmu?” Hanya bibir itu yang masih merah, pikirku.

“Tidak masalah.” Katanya lemah. Kelopak mata indah itu telah botak, aku membatin. Tapi mengapa ia tidak berinisiatif menggunakan bulu mata palsu saja meski aku tahu bulu mata-bulu mata palsu itu tidak akan pernah sebanding dengan keindahan bulu mata aslinya. Apakah di saat seperti ini ia masih berpikir bulu mata palsu itu norak?

“Tapi untunglah Elena, selembar bulu matamu telah menjadi banyak. Kamu bisa menyambungnya untuk kedua kelopak matamu di salon.” Kataku senang seraya memberi semangat padanya. Elena hanya mengangguk.

“Tapi tunggu dulu, ke mana saja kamu selama ini? Aku kangen sekali padamu.”

“Kangen?” ia tersenyum. Mungkin ia masih percaya pada mitos selembar bulu mata itu.

“Aku sakit, jadi harus berobat.”

“Apa? Sakit apa?” ia tidak menyahut, tapi nanah yang menetes sederas hujan dari kelaminnya telah menjelaskannya. Namun ia tidak menghiraukan keterkejutanku, kedua tangannya menadah, meminta bulu matanya. Kami sadar, kami sama-sama basah. Mandi basah. Orang-orang mungkin melihat kami seperti orang gila. Padahal kami sama saja dengan mereka, manusia-manusia dengan beragam identitas, manusia-manusia yang mungkin punya lebih dari satu identitas. Sama-sama bermetamorfosis untuk menjadi sempurna.

Aku membuka halaman yang hampir akhir dari buku catatanku. Ternyata catatanku berakhir di halaman kiri yang bertuliskan kanan.

“Elena, aku tahu jawabannya. Ini bulu mata kananmu.”

“Jadi kamu percaya mitos, kan?”

“Bukankah kamu pernah bilang kita kodok?”

“Tidak. Hanya aku yang kodok. Jo, terima kasih telah kangen padaku, tapi aku hanya ingin dicintai.” Elena mengambil bulu-bulu matanya dan memasangkannya langsung pada kedua kelopak matanya. Sungguh, untuk yang satu itu ia tidak membutuhkan jasa salon. Bibir merahnya tersenyum dan ia beranjak lurus sambil melambai. Aku hanya terbengong-bengong saja. Tapi ternyata aku salah lihat, jelasnya Elena tidak berjalan selurus manusia. Ia bermetamorfosis. Ia melompat-lompat seperti kodok. Ya, ia tiba-tiba menjadi kodok.

Maka ketika aku masuk ke kamar apartemenku dalam keadaan kuyup, aku langsung menuliskan tema besar pada halaman kiri bertuliskan kanan di buku catatanku: ”Selembar Bulu Mata Elena Menjadi Kodok.”

***

By : Anistia Malinda

Negeri Impian

Embun pagi enggan meninggalkan dedaunan
Meski angin dan matahari memaksanya pergi
Waktumu habis sudah……
Enyahlah dari sisi mentari ini

Karena kini negeri impianku telah datang
Negeri senja yang indah temaram
Yang kupetik dari gugusan malam
yang ku adopsi dari dua bagian dunia

Di negeriku ini, aku tidak diajari untuk mengerti
Bahwa harus kulukis langit dengan tinta-tinta
Yang kuambil dari sungai penuh warna

Disini aku melakukannya karena aku tahu
Bahwa semua dilakukan atas hidup itu sendiri
Yang selaras dan bersinergi dengan aturan yin dan yang
Yang bangunannya kubangun dengan pilar-pilar megah
Yang kususun dari manik-manik, batu dan permata
Dan tanggungjawab juga loyalitas jadi perekatnya

Tidak ada pengkhianatan atas sebuah janji
Karena sikap dan dan keinginan tulus jd sebuah terali
Senyumanpun menjadi doa sejati

By : Anistia Malinda

Kemenangan Sekeping Hati


Aku tidak mengerti kenapa Mas Ardi harus memilihku. Padahal kantor kami tidaklah sama. Aku bekerja di bagian administrasi pada perusahaan percetakan, sedangkan Mas Ardi bekerja di bagian marketing pada perusahaan milik warga negara Jepang. Sungguh, aku tidak pernah bermimpi memilikinya. Aku sadar sejak aku mengenalnya di kampus dulu. Dia laki-laki yang banyak dilirik para gadis-gadis tercantik di kampus kami. Toh, setelah lulus kami terpisah jarak. Aku memutuskan untuk menetap sementara di rumah nenekku di Jawa tengah. Sambil melamar pekerjaan aku menemani nenek yang sudah renta, sedangkan orang tuaku tetap di Kediri. Mas Ardi memilih melanjutkan study ke luar negeri, tepatnya Jepang di jurusan yang sama ketika dia menempuh jurusan di kampus kami dulu.

Aku bertemu kembali satu tahun yang lalu, saat menghadiri acara reuni teman-teman kampus. Yang pasti saat itu aku datang dengan sahabatku, Nuris. Aku bela-belain datang dari Solo demi acara ini. Sudah lama juga tidak kumpul dengan teman-teman. Ada kerinduan yang meruah kala canda-tawa, serta senyum bahagia teman-temanku bertebaran. Mereka bersemangat menceritakan kehidupan setelah lepas dari bangku kuliah. Ada Irgi yang telah menikah dan mempunyai satu anak perempuan. Lain lagi dengan Vera, dia menjadi ibu rumah tangga sejati. Baginya status itu tidaklah kolot. Aku salut akan pendiriannya. Belum lagi cerita Mara, dia telah bertunangan dengan seorang dosen muda di universitas terkemuka di kota calonnya tersebut. Dan masih ada teman-teman lain yang memiliki cerita sendiri-sendiri.

Sedangkan aku, seorang perempuan yang masih tetap sendiri. Padahal bisa di bilang usiaku sudah cukup untuk berumah tangga dan menjadi Ibu, 25 tahun. Dan itu pun juga terjadi pada Mas Ardi, aku memanggilnya” Mas”, itu sebutan yang sopan dan pantas pada orang yang lebih dewasa usianya dalam aturan orang Jawa.

“Han…gimana kabarmu sekarang?” tanya Mara ketika kami kumpul bersama di ruang tengah.

“Alhamdulilah aku baik, Ra.” Balasku santai sambil tetap mengamati teman-teman yang lain.

“Hani, kok calonnya nggak diajak sech…malu ya sama kita-kita.”sahut Vera tak mau kalah.

“Dari dulu khan, Hani memang begitu. Tertutup banget soal laki-laki.” Tiba-tiba Irgi menimpali sambil berjalan ke arah kami, di belakang mengekorlah Mas Ardi. Mukaku langsung mendadak memerah seperti udang rebus. Aku hanya tertunduk, tidak berani menampakkan wajahku di hadapan mereka. Oh..calon? terpikirpun tidak dalam benakku. Semua yang berbau laki-laki telah aku singkirkan sejak kepergian Mas Ardi melanjutkan ke Jepang.

“Nanti aku aja yang akan mendekati dia Ver, siapa tahu masih kosong dan ada lowongan…!” Mas Ardi buka suara juga. Namun ungkapanya tadi membuyarkan lamunan masa laluku-- yang juga mengenangnya. Hatiku berdebar tak karuan mendengarnya. Aku berusaha setenang mungkin menghadapi situasi ini. Aku tidak ingin dia juga yang lainnya tahu apa yang aku rasakan dan pikirkan.

“Mau aja Han, Ardi masih single tulen kok...! Belum ada yang ngisi juga, Kalian kayaknya cocok tuch…!” Mara mencoba memprovokasi. Aku hanya tersenyum mendengar ocehan-ocehan mereka.

Sejak saat itulah, komunikasi antara aku dan Mas Ardi semakin lancar. Tanpa kami sadari, telah tumbuh benih-benih yang menghiasi ruang hati kami. Namun, masih enggan untuk mengakuinya. Tapi belum juga mengutarakan perasaan kami masing-masing. Aku harus siap menghadapi kemungkinan yang terjadi. Entah, apakah aku bisa memberitahunya, bahwa aku kini menyimpan harapan bersamanya.

***

Di senja yang indah aku duduk di teras rumah, menikmati keindahannya sambil membaca-baca majalah dan buku-buku yang belum sempat aku baca. Kesibukan di kantor yang menyita seluruh waktuku, hingga tak tersisa sedikitpun untuk menyentuh benda yang selalu menemani duniaku. Ketika sedang menikmati bacaanku, Mas Ardi datang.

“Assalamualaikum…lagi santai nech kelihatannya!” sapanya ramah. Aku menyambutnya dengan menjawab salam. Aku sempat kikuk, karena tidak biasanya aku menerima tamu dalam keadaan yang serba biasa. Rambut yang biasanya ku ikat, kubiarkan tergerai. Aku malu dipandangi Mas Ardi seperti itu.

Belum sempat aku mempersilakan masuk ke dalam rumah, Mas Ardi telah menyahut lebih dulu.

“Di sini saja Han…gak apa-apa khan?”tanyanya

“Oh..iya, silakan duduk, Mas.” Sambutku seraya menganggukan kepala.

Mas Ardi duduk di bangku yang berseberangan, karena terhalang meja di tengahnya.

“Mau minum apa Mas?”tawarku.

“Tidak usah repot-repot, Han…aku tidak lama kok.”balasnya.

“Sebentar aja kok, masa baru duduk langsung mau pulang…!” ledekku sambil melangkah ke dalam. Di ruang tengah aku sempat berpapasan dengan Budhe Ratih, dan aku memberitahu keberadaan Mas Ardi. Tak harus butuh waktu lama kalau hanya membuat segelas es teh manis, minuman kesukaan Mas Ardi semasa kuliah.

“Aduh…jadi merepotkan kamu, Hani!” gaya basa-basinya yang tetap melekat sampai sekarang.

“Ah…gak apa-apa, Mas. Aku gak repot kok kalau hanya segelas.” Candaku sambil meletakkan minuman tersebut di meja.

Aku menangkap sekilas ada, sesuatu yang tidak biasanya.

“Silakan di minum dulu, pasti udah haus. Ngomong-ngomong ada perlu apa, Mas datang ke sini tidak seperti biasanya?” tanyaku memastikan.

Aku melihat Mas Ardi diam, namun aku sempat mendengar helaan nafas di antara sikap diamnya. Aku pun memilih diam dulu, mungkin ada sesuatu yang masih dia pikirkan sebelum mengatakan padaku.

“Han…maafkan bila aku lancang mengatakan ini. Tapi aku harap kamu tidak marah.”ujarnya kemudian

“Soal apa, Mas?”

“Hmmm….mau nggak kamu menemani sisa hidupku?”

Aku tersentak mendengar pertanyaanya. Bagai sengatan lebah yang tak sempat ku hindari dan mengenaiku tepat pada sasaran. Mas Ardi ingin menjadikan aku bagian dari kehidupanya. Mimpikah aku? Aku malah asyik mengembara dengan pikiranku sendiri, ketika Mas Ardi kembali menegurku.

“Hani…kamu tidak apa-apa khan?” tanyanya membuatku geragapan.

“Eh…iya, Aku tidak apa-apa kok!” sahutku tersipu malu.

“Kamu mau khan ,Han?” tanyanya meyakinkanku.

“Boleh aku pikirkan dulu apa harus dijawab sekarang Mas?” balasku.

“Kalau tidak keberatan sekarang saja, Han!”

Aku kini terdiam, berusaha merenungi permintaan Mas Ardi barusan. Dan pada akhir dari keterdiamanku. Aku memutuskan untuk menerima pinangan itu. Aku melihat kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Mas Ardi menyematkan sebuah cincin indah bermata safir di jari manisku. Rasa bahagia yang tak terlukiskan kini menyelimuti hatiku juga Mas Ardi. Sejak saat itulah kehadiran Mas Ardi mewarnai hariku. Berbagi saat suka maupun duka yang menghampiri kehidupan kami. Aku hanya memberitahu budhe dan nenek, aku melarang mereka mengabari pada keluargaku tentang pinangan Mas Ardi. Aku masih menunggu kepastian Mas Ardi datang dengan orang tuanya.

***

Tiga bulan kemudian

Aku masih sibuk dengan beberapa file yang mesti aku setorkan pada atasanku. Namun tiba-tiba aku diberitahu satpam, bahwa ada seorang perempuan yang ingin bertemu dan menungguku di dekat pos satpam. Aku hanya bertanya-tanya dalam batinku.Siapa? darimana dia tahu aku kerja di sini?. Aku terlalu letih dengan pertanyaan tersebut. Aku bergegas menyelesaikan tugasku dan keluar menemui perempuan itu.

Aku masih saja berpikir keras, tentang kedatangan perempuan itu yang tiba-tiba dan tak ada janji sebelumnya denganku.

“ Maaf, Mbak Hani…?” tanyanya setelah aku ada dihadapanya.

“ Iya, benar. Siapa anda?” tanyaku balik dengan sopan dan hati-hati.

“ Maaf, apa saya menggangu waktu mbak? Ada yang ingin saya bicarakan dengan Mbak.” Sahutnya kemudian meminta kesediaanku.

“ Oh, tidak..” balasku.

“ Kalau begitu kita berbicara sambil makan siang saja ya, Mbak?” tawarnya kemudian.

Aku dan dia berjalan beriringan tanpa ada pembicaraan sedikitpun. Aku masih terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya dia. Aku memilih salah satu rumah makan yang dekat dengan kantorku bekerja. Setelah memesan sesuatu, perempuan itu mulai menanyakan kabarku dan lainnya.Hingga sebuah pengakuan mengejutkan aku.Tentang Mas Ardi.

“ Saya baru tahu, mbak. Kalau Mas Ardi sudah menjalin hubungan dengan Mbak.” Ujarnya dengan pandangan keluar jendela. Dia sama sekali tak berani menatap mataku. Namun aku bisa sempat menangkap kesedihan yang tersirat dari raut mukanya.

“ Sebenarnya anda siapa? Darimana anda tahu tentang saya dan Mas Ardi?” tanyaku akhirnya keluar juga.

Meluncurlah cerita tentang dirinya dan juga tentang Mas Ardi. Perempuan yang tadi berbicara padaku adalah teman dekat Mas Ardi ketika berada di Jepang. Hatiku merasakan tusukan yang menyakitkan ketika dia mengungkapan betapa-- dia juga mencintai Mas Ardi sejak di Jepang hingga kini telah kembali ke Indonesia. Aku berusaha menguatkan hati ini, meski terasa menyesakkan. Menahan butiran airmata yang ingin tumpah. Perempaun itu bernama Akira, biasa di sapa Ira. Seperti nama orang Jepang. Dan memang dia masih ada keturunan darah negara tersebut.

Dia bercerita dengan uraian airmata, membuat hatiku tersentuh sekaligus sakit. Kenapa sejak awal Mas Ardi tak cerita padaku. Ada amarah yang kini kusimpan karena sikap Mas Ardi. Aku harus bicara dengan Mas Ardi secepatnya, batinku.

***

“Maaf, Han..aku belum sempat menjelaskan padamu!” jawabnya ketika aku menanyakan kepastian mengenai Ira.

“Lupa?” tanyaku balik.

Mas Ardi masih terdiam di hadapanku, aku berusaha keras menahan emosi yang ingin meledak. Kenapa meski sekarang terjadi? Kenapa tidak sejak kemarin sebelum aku memutuskan menerima cintanya? Pertanyaan –pertanyan itu mengelilingi otakku.

“Hani…!” sahutnya

“Iya, ada apa?. Katakan yang sejujurnya saja Mas, agar masalah ini cepat ada penyelesaiannya.” Balasku mulai menata kembali emosiku.

“Ira memang mecintaiku sebelum kamu hadir dalam benakku. Dia setia menunggu ku hingga selesai kuliahku di Jepang. Dia juga yang menjagaku, menemaniku saat suka maupun duka. Keluarganya di Jepang sangat baik padaku.” Ceritanya dengan hati-hati. Aku masih tetap membisu tanpa mengomentari sedikitpun penuturannya kali ini. Ada sesuatu yang mencubit-cubit hati kecilku sekarang.

“Aku pun akhirnya membalas semua pengorbanannya, aku mulai bisa mencintainya. Membiarkan pelan-pelan dia mengisi hatiku yang kosong sejak aku memutuskan kuliah ke Jepang. Kamu tahu kenapa aku memilih kuliah ke jepang, Han?” tanyanya tiba-tiba mengejutkanku.

Aku hanya menggeleng tanpa bersuara.

“Karena kamu tetap diam dengan hatimu, kamu tak pernah mau tahu tentang perasaanku padamu. Bahwa aku mencintaimu…!” ceritanya sempat mengharukan hatiku, aku hanya mampu mengigit bibirku. Aku juga merasakan hal yang pernah kamu rasakan Mas, batinku.

“Maafkan…”

“Kamu tidak salah, Han. Aku saja yang pengecut tak berani lebih tegas menghadapi sikapmu.”

“Apa Mas masih mencintai Ira saat ini, meski Mas jelas-jelas memintaku mendampingi hidupmu?” tanyaku kemudian.

Mas Ardi kembali terdiam, hanya desahan nafas yang terdengar berat.

“Apa kamu mau memaafkan aku bila aku mengatakan yang sejujurnya,Han?”

“Insya Allah”

“Aku memang masih mencintainya, namun ketika aku bertemu denganmu, aku menemukan kembali cintaku yang pernah hilang. Tapi…!” dia mengantung ucapannya

“Tapi kenapa?”

“Tapi orang tua Ira memintaku untuk menikah denganya.!” Sahutnya datar.

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, namun aku berusaha menguasai keadaan. Aku hanya diam terpaku mendengar pengakuannya.Airmataku benar-benar ingin melesak keluar dari sarangnya. Tapi tetap sekuat tenaga untuk menahanya, agar tak keluar.

“Pergilah…temui dia!” kalimat terakhirku padanya.

Mas Ardi tetap mematung ditempatnya ketika aku pergi berlalu darinya.

***

Sejak peristiwa itu, aku tak lagi menghubungi Mas Ardi, komunikasi itu merenggang dengan sendirinya. Lagipula aku sudah tak ingin mengusiknya. Aku mengembalikan cicin pemberiannya saat memintaku menjadi istrinya dan memutuskan kembali ke rumah orang tuaku. Meski dengan begitu Budhe Ratih dan nenekku amat menyayangkan keputusanku. Tapi aku ingin pergi jauh dari kenangan juga masa laluku. ***


“Hani…!” sesorang memanggilku. Aku berusaha mencari arah panggilan suara tersebut.

“Kamu benar Hani, khan?” tanyanya setelah agak mendekat. Aku hanya terbengong-bengong.

“Subhanallah… Han. Kamu tambah cantik saja. Gimana kabarnya?” sambil menatapku dari atas hingga bawah, tak luput pula selembar kain jilbab yang bertengger indah menghiasi kepalaku. Aku memutuskan berjilbab setelah bertemu dengan sosok baik hati dan lembut di kantor baruku yang mampu mengubah jalan hidupku kini.

“Mara..! kok kamu ada di sini?” kini giliran aku balik bertanya padanya.

Dia hanya senyum-senyum saja ketika aku ganti menanyainya. Padahal pertanyaannya saja, juga belum aku balas.

“Iihh...kamu aja belum jawab pertanyaanku!” sahutnya seperti tahu isi hatiku.

“Alhamdulilah baik.” Jawabku kemudian.

“Kalau kamu, Ra?”

“Aku juga baik, Han. Aku udah nikah dengan tunanganku dulu. Dia menetap di Malang karena sudah menjadi dosen tetap di salah satu universitas tempatnya mengajar.” Balasnya dengan sedikit dibumbui cerita keberadaannya di sini.

“Lalu kamu?” tanyanya lagi.

“Bunda…Bunda…!” suara sosok mungil memanggilku. Aku melirik Mara sekilas, keningnya mengerut karena mendengar panggilan tersebut. Aku menoleh.

“Dia, buah hatiku...!” sahutku sambil memandangi Farah yang asyik dengan mainanya.

“Dengan Mas Ardi, Han?” Tanyanya lagi.

Aku sempat menggeleng kepala pelan.

“ Bukan, aku menikah dengan laki-laki baik hati, seorang manajer di kantorku bekerja. Laki-laki keturunan Jawa-Arab, namun telah menetap lama di Malang.” Sahutku diiringi senyum bangga pada Muhammad Rayyan Aditya, suamiku.

Senyum kemenangan yang sama ketika aku menerima pinangannya tiga tahun yang lalu. Kemenangan hatiku melupakan sosok Mas Ardi, yang aku tahu dia tidak jadi menikah dengan Ira, karena perempuan itu memutuskan menikah dengan laki-laki asli Jepang dan menetap di sana. Dan Aku tak tahu pasti bagaimana nasib Mas Ardi setelah kepergian Ira. Aku pikir dia akan menemukan dunianya sendiri kelak.



__________________The end______________

By : Anistia Malinda

Segitiga Bermuda


PENGETAHUAN
Segitiga Bermuda

Bagi Anda yang gemar kisah misteri, pasti mengenal Segitiga Bermuda. Wilayah laut di selatan Amerika Serikat dengan titik sudut Miami (di Florida), Puerto Rico (Jamaica), dan Bermuda ini, telah berabad-abad menyimpan kisah yang tak terpecahkan. Misteri demi misteri bahkan telah dicatat oleh pengelana samudera macam Christopher Columbus.


Lebih dari itu, tak jauh dari kapal, pada suatu malam tiba-tiba para awaknya dikejutkan dengan munculnya bola-bola api yang terjun begitu saja ke dalam laut. Mereka juga menyaksikan lintasan cahaya dari arah ufuk yang kemudian menghilang begitu saja.

Begitulah Segitiga Bermuda. Di wilayah ini, indera keenam memang seperti dihantui ’suasana’ yang tak biasa. Namun begitu rombongan Columbus masih terbilang beruntung, karena hanya disuguhi ‘pertunjukkan’. Lain dengan pelintas-pelintas yang lain.



Di lain kisah, Segitiga Bermuda juga telah membungkam puluhan pesawat yang melintasinya. Peristiwa terbesar yang kemudian terkuak sekitar 1990 lalu adalah raibnya iring-iringan lima Grumman TBF Avenger AL AS yang tengah berpatroli melintas wilayah laut ini pada siang hari 5 Desember 1945. Setelah sekitar dua jam penerbangan komandan penerbangan melapor, bahwa dirinya dan anak buahnya seperti mengalami disorientasi. Beberapa menit kemudian kelima TBF Avenger ini pun raib tanpa sempat memberi sinyal SOS.

Hilangnya C-119

Kisah ajaib lainnya adalah hilangnya pesawat transpor C-119 Flying Boxcar pada 7 Juni 1965. Pesawat tambun mesin ganda milik AU AS bermuatan kargo ini, hari itu pukul 7.47 lepas landas dari Lanud Homestead. Pesawat dengan 10 awak ini terbang menuju Lapangan Terbang Grand Turk, Bahama, dan diharapkan mendarat pukul 11.23.



Pesawat ini sebenarnya hampir menuntaskan perjalanannya. Hal ini diketahui dari kontak radio yang masih terdengar hingga pukul 11. Sesungguhnya memang tak ada yang mencurigakan. Kerusakan teknis juga tak pernah dilaporkan. Tetapi Boxcar tak pernah sampai tujuan.

“Dalam kontak radio terakhir tak ada indikasi apa-apa bahwa pesawat tengah mengalami masalah. Namun setelah itu kami kehilangan jejaknya,” begitu ungkap juru bicara Penyelamat Pantai Miami. “Besar kemungkinan pesawat mengalami masalah kendali arah (steering trouble) hingga nyasar ke lain arah,” tambahnya.

“Benar-benar aneh. Sebuah pesawat terbang ke arah selatan Bahama dan hilang begitu saja tanpa jejak,” demikian komentar seorang veteran penerbang Perang Dunia II.

Banyak teori kemudian dihubung-hubungkan dengan segala kejadian di sana. Ada yang menyebut teori pelengkungan waktu, medan gravitasi terbalik, abrasi atmosfer, dan ada juga teori anomali magnetik-gravitasi. Selain itu ada juga yang mengaitkannya dengan fenomena gampa laut, serangan gelombang tidal, hingga lubang hitam (black-hole) yang hanya terjadi di angkasa luar sana. Aneh-aneh memang analisanya, namun tetap saja tak ada satu pun yang bisa menjelaskannya.
Berikut adalah bebrapa Kejadian-kejadian yang terjadi di Segitiga Bermuda:
1840 : HMS Rosalie
1872 : The Mary Celeste, salah satu misteri terbesar lenyapnya beberapa kapal di segitiga bermuda
1909 : The Spray
1917 : SS Timandra
1918 : USS Cyclops (AC-4) lenyap di laut berbadai, namun sebelum berangkat menara pengawas mengatakan bahwa lautan tenang sekali, tidak mungkin terjadi badai, sangat baik untuk pelayaran
1926 : SS Suduffco hilang dalam cuaca buruk
1938 : HMS Anglo Australian menghilang. Padahal laporan mengatakan cuaca hari itu sangat tenang
1945 : Penerbangan 19 menghilang
1952 : Pesawat British York transport lenyap dengan 33 penumpang
1962 : US Air Force KB-50, sebuah kapal tanker, lenyap
1970 : Kapal barang Perancis, Milton Latrides lenyap; berlayar dari New Orleans menuju Cape Town.
1972 : Kapal Jerman, Anita (20.000 ton), menghilang dengan 32 kru
1976 : SS Sylvia L. Ossa lenyap dalam laut 140 mil sebelah barat Bermuda.
1978 : Douglas DC-3 Argosy Airlines Flight 902, menghilang setelah lepas landas dan kontak radio terputus
1980 : SS Poet; berlayar menuju Mesir, lenyap dalam badai
1995 : Kapal Jamanic K (dibuat tahun 1943) dilaporkan menghilang setelah melalui Cap Haitien
1997 : Para pelayar menghilang dari kapal pesiar Jerman
1999 : Freighter Genesis hilang setelah berlayar dari Port of Spain menuju St Vincent.

By : Anistia Malinda