02 Maret, 2009

CERPEN

Burung Murai Batu

Alam adalah sastra makro yang tak dapat terlukiskan secara keseluruhan seerentak dalam angan maupun kanvas besar. Sebuah raksasa sastra , keindahan illahiah milikNya hanya mampu manusia meleburkan diri dengannya. Catnya selautannpun hanya mampu melukis bagian kecil celupan itu. Semua keindahan dan kesombongannyapun tetap milikNya, tak tertandingi. Nyanyian, ya nyanyian indah adalah nyanyian alam. Desau angin, gemuruh air jatuh dari atas bukit kebawah ngarai dan sungaoi-sungai kecil. Desau ombak di laut dan nyinyian burung-burung, ialah sekelumit cerita melukis duniawi, mayapada.
Berjalan kedalam hutan hijau. Batu-batu sungai-sungai dan air mengalir. Keindahan nyanyian Murai batu. Seekor burung yang dicat alam berwarna hitam pada paruhnya, bintik-bintik putih pada helai sayapnya. Semua warna putih pada dadanya, seperti menyatakan inikah dadaku yang sesungguhnya menyembul dada yang bagus dan sehat menantang cahaya matahari pagi. Bernyanyi saat fajar merekah dan senja menurunkan lanskapnya. Murai batu mengajak pergi isterinya mengitari pohon kariwaya ( sejenis pohon beringin yang tumbuh didalam hutan ditepi sungai). Dibawah pohon ini banyak ulat dan ngengat bahkan cacing kecil yang senang hidup diantara serpihan buah kariwaya yang mulai membusuk. “Indah sekali udara pagi”, kata Murai suami. “Iya”. “Mungkinkah kita memiliki tempat berteduh dengan baik, saat boldozer disana itu kembali akan menebang pohon ini, suamiku” ?. Kita sambil berdo’a saja, karena kita tidak bisa melawannya”. “Kecuali kita demo seperti manusia. Yah, demo”. Kata demo, itu bagus kemaren saya melihat demo lebah. Kenapa. Lebah dan koloninya diserang boldozer kemudian sopirnya disengat sampai sakit dan meninggal. Waduh, lebah mana itu. Katanya, lebah keras yang disebut Naning. Oh, iya nanning kan enak dimakan, tetapi juga keras sengatan dan bisa-nya. Menurut cerita sebelum menyerang ia mengasah dahulu senjatanya kebesi kuning yang ada di dalam hutan. Dari sana ia menuju musuhnya. Jangan sampai kita tertusuk, nanti pasti seperti sopir boldozer itu, jawab Murai suami.
Angin yang bertiup perlahan menyejukan kedua burung ini. Kecipak air yang mengalir dibebatuan menghendaki mereka terjun keair melepaskan dahaga dan kepenatan bahkan mencuci bulu-bulunya nan indah.
Semenjak adanya proyek tanaman industri ini konon katanya HTI, maka habitat murai batu menjadi terganggu. Sungai-sungai dan pohon-pohon kariwaya bahkan ladang pakis yang luas telah hilang. Kerusakan lingkungan yang menjadi bagian terpenting kehidupan semakin menjadi-jadi. Lahan untuk mereka bernaung dan berkembang biak telah terusik. Keserakahan manusia tak dapat dipungkiri. Bumi yang hijau dan penuh daya pesona akan musnah tanpa perlindungan. Murai batu hanya selalu menyanyi dan menyanyi, padahal manusia semakin tumbuh dan berkembang baik kualitas dan kuantitasnya. Jika mereka juga banyak menyukai murai batu maka akan terjadi perburuan besar-besaran lagi. Semoga tidak terjadi.
Murai batu telah banyak menyuarakan alam yang menyenangkan membuat hidup lebih hidup. Karena itu ia banyak diburu oleh para pencinta burung. Dari pegunungan ia datang dan ke ngarai ia terbang, masuk kedalam sangkar emas pengusaha kaya yang hobby burung. Terus dilombakan dalam lomba burung berkicau ia mendapat trofi, tetapi bukan sang murai batu. Tetapi tuannya yang mendapat anugrah. Sampai suatu hari ketika kucing rumah yang berbulu halus dan selalu menyeringai terhadapnya, karena iri melihat perlakuan tuannya dengannya, menerkam murai itu dalam sangkar emas. Sangkar terjatuh dan ada celah yang menganga, sang murai terbang sambil bernyanyi kegirangan. Ia terbang dan hinggap diatas pagar, bernyanyi diatas pohon jambu air diteras belakang rumah tuannya. Sang pembantu berteriak , allaahhh .. murai-murai kembali dong, nanati saya dimarahi, murai bernyanyi dengan riang. Kebebasan yang ia dapatkan dengan sesukanya. Menampak hijau gunung gemunung dan hutan dikaki bukit. Ia berteduh sejenak didekat pohon kariwaya dihutan itu. Lalu terjun keaiar dan berkepak-kepak seperti mati hanyut kehilir. Ketika ada cabang dan ranting pohon yang menjuntai keair lalu ia bertengger disana dan mulai memanggil betinanya yang lama sekali hilang dari dirinya. Sambil ia tetap berharap bahwa betinannya tak akan terjerat sipemburu burung seperti dirinya. Nyanyian elegi pagi terus mencecarnya, alam sangat menyenangkan dan ia terbangun dari deritanya. Sambil berharap segera bertemu betinanya dan memulai hidup baru, dengan bertelur dan bertelur meneruskan keturunannya.(* Kota Tanjung Tabalong, 23 Maret 2004).

By : ANISTIA